Sang Mu'adzin dan Sipemilik mata Indah

Mataku tak henti mencari sesuatu kesana kemari. Namun yang dicari tak kunjung menampakkan diri. Satu persatu tamu yang hadir telah menyalamiku, tapi yang sejak tadi kucari dan kutunggu kehadirannya belum jua datang untuk menyalamiku. Mungkinkah dia tak datang? Tapi kenapa? Apakah karena dia juga bermimpi hal yang sama denganku? Pertanyaan demi pertanyaan yang muncul dipikiranku membuatku tidak terlalu fokus dengan kejadian disekelilingku.
"Selamat ya! Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah warohmah."
"Amiin." Jawabku singkat. Dengan pandangan kearah lain, tidak fokus pada orang yang menyalamiku. Sejenak aku tertegun, aku merasa mengenali suara yang baru saja menyalamiku. Ku alihkan pandanganku padanya dan ya, aku mengenalinya. Dialah orang yang sejak tadi kucari. Matanya, matanya tampak redup. Kuberanikan diri untuk menatap matanya. Matanya memang tampak sayu, itu terlihat dari kantung mata yang sedikit membesar pada kelopak matanya. Tapi aku masih bisa mengenali dan mengingat mata indah yang dimilikinya. Aku yakin bahwa dialah pria si pemilik mata indah itu. Ya, dialah Davin, sahabatku yang sejak tadi kutunggu.
"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya dengan senyum tipis yang kian memudar. Aku tersenyum ketir. Ada apa denganmu sahabatku? Bathinku.
"Alhamdulilah baik. Kamu sendiri bagaimana?" Jawabku.
"Alhamdulilah aku juga baik." Jawabnya dengan senyum dipaksakan. Lalu matanya melirik jam ditangannya.
"Aku tak bisa berlama-lama disini, aku ada janji hari ini. Maaf ya! Semoga langgeng." Ucapnya sambil berlalu dari hadapanku setelah menyalami suamiku.Sahabatku, aku merasakan kepedihan yang tengah kau derita. Matamu tak mampu menyembunyikan dukamu. Meski aku tak tahu derita apa yang tengah menderamu. Bathinku.

Hari berganti, kumemulai hariku dengan lembaran baru bersama suamiku Ardhan As-shidiq yang belakangan kuketahui bahwa dia adalah sang mu'adzin bersuara merdu itu. Kala itu baru hari pertama kami menjadi sepasang suami istri. Dia hendak pergi ke mesjid ketika menjelang maghrib. Aku yang belum terbiasa sholat dirumah baru sendirian memutuskan untuk ikut sholat berjamaah di mesjid. Ketika hendak mengambil air wudhu, mu'adzin bersuara merdu itu mengumandangkan adzan maghrib dengan suara khasnya. Sontak saja aku kaget dan tak percaya dengan apa yang kudengar. Akupun lantas berbalik arah dan masuk kembali kedalam mesjid untuk memastikannya. Namun yang kudapati hanyalah seorang merbot mesjid yang tengah terduduk dan seorang mu'adzin yang tak lain adalah suamiku. Ah, benarkah itu suamiku? Mu'adzin yang selalu membuatku menitikkan air mata karena suara dan penghayatannya. Tapi... Aku meraba pipiku. Tak terasa air mataku sudah membasahi pipiku. Isak tangis haru dan bangga berbaur jadi satu. Tubuhkupun tak mampu ku tahan untuk segera bersujud syukur atas hadiah terindah yang Alloh berikan untukku.

Namun, belum sempat aku menceritakan kebahagiaanku pada suamiku, berita duka sudah lebih dulu sampai ketelinga suamiku.
"Sayang, sekarang kamu siap-siap ya! Kita langsung berangkat ke Rumah Sakit." Ucapnya.
"Memangnya mau ngapain? Kamu sakit?" Tanyaku bingung sambil meraba keningnya.
"Nggak anget kok!" Seruku lagi.
"Lha! Aku kira kamu tahu. Davin kecelakaan." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Davin kecelakaan?" Tanyaku bersama air mata yang tak mampu kubendung.
"Iya, makanya ayo siap-siap! Kita akan segera pergi kesana." Ucap suamiku sambil merangkulku lembut. Masih sulit kuterima, sahabatku yang selama ini selalu bersamaku dan selalu ada untukku. Sekarang tak bisa lagi selalu bersama setelah aku menikah dan punya kehidupan baru. Diapun seakan menjauhiku, entah dia canggung atau apa. Aku tak mengerti, apalagi waktu dia datang kepernikahanku. Dia datang dengan raut wajah yang tidak seperti biasanya, bahkan aku saja hampir tak mengenalinya. Ada apa dengannya? Ada apa dengan sikapnya? Atau justru aku yang berbeda? Aku yang selama ini memang menghindarinya, karena setiap kali bersamanya aku tak mampu menatap matanya. Matanya yang selalu kutemui dalam mimpi misteriusku dan sekarang setelah cukup lama aku tak bertemu dengannya bahkan tak mendengar namanya. Aku harus melihat dia tengah terbaring tak berdaya diruangan pengap berbau obat seperti ini.
"Sayang! nggak mau masuk?" Tanya suamiku. Aku terhenyak dari lamunanku.
"Aku mau masuk tapi sendirian." jawabku, sambil menyeka air mataku. Aku langsung masuk keruangan tempat Davin dirawat tanpa menunggu jawaban dari suamiku. Aku membekap mulutku dengan isak tangis yang kian menjadi-jadi. Sesak sekali dadaku melihatnya terbaring tak berdaya dengan banyak kabel menempel ke tubuhnya. Kutatap lekat wajahnya, mata indah itu masih dapat kukenal meski dalam keadaan terpejam sekalipun. Matanya tetap membuatku damai setiap kali melihatnya, meski kini rasa damai itu harus berbaur bersama rasa sesak. Dadaku kian sesak ketika dia sudah dipenghujung nafas-nafas terakhirnya. Matanya sedikit terbuka namun dengan nafas yang kian berat. Kubisikkan talkin ketelinganya, kutuntun ia untuk mengikuti ucapanku dan ya, dia menghembuskan nafas terakhirnya sambil mengucapkan kalimat tahlil dengan tangan menggenggam tanganku. Aku menjerit sekuat-kuatnya hingga tak sadarkan diri.

"Terimakasih sobat, sudah datang dan ada disampingku disaat-saat terakhirku. Jaga diri kamu baik-baik ya!" Ucapn

ya, sambil melepaskan gengganman tangannya lalu menjauh, menjauh dan kian menjauh dari pandanganku.
"Davinnnnn......!!!! Jangan tinggalin aku!" Teriakku. Orang-orang disekelilingku langsung merangkulku ketika aku berteriak dan tersadar. Ternyata itu mimpi. Dia datang kemimpiku dengan senyum yang dulu selalu menjadi teman setiaku. Pelipur laraku, sahabat terbaikku. Ketika aku tersadar, Davin sudah selesai dikebumikan. Ia sudah meninggalkanku dan takkan pernah kembali lagi. Semoga engkau ditempatkan ditempat yang mulia disisi Alloh sahabatku. Bathinku.

Beribu tanya menari-nari di kepalaku. Kebetulan macam apa ini? Ini bukan kebetulan, ini memang sudah skenario Alloh untukku. Tapi kenapa harus Davin si pemilik mata indah itu? Kenapa harus Davin juga yang pergi tanpa pesan padaku? Aku terisak, tubuhku terasa berat untuk bangkit dan beranjak dari peristirahatan sahabatku itu.
"Sayang!" suara lembut menyadarkanku.
"Bukankah kau tahu, meratapi kepergian seseorang berlebihan seperti ini bukanlah tanda cinta atau kehilangan. Tapi kau justru menyiksanya dengan cara ini. Dia akan kesakitan dengan tangismu ini. Bangkitlah! Jangan sampai syetan menguasaimu." Kata-kata yang selalu aku ungkapkan pada orang yang sedang berduka sepertiku, kini suamiku mengucapkannya persis sepertiku. Aku tersenyum hambar sambil menyeka air mataku. Davin sudah tenang disana. Aku tak ingin terlarut dalam keterpurukan karena ditinggalkan olehnya. Mu'adzin yang selalu membuatku menitikkan air mata, kini ada disampingku. Dia yang selalu menguatkanku.  Selalu bersamaku, bagaimana pun keadaannya. Inilah rencana terindah Alloh untukku.




#Selesai#




















0 komentar:

Posting Komentar