Sang Mu'adzin dan Si Pemilik Mata Indah



Ditempat ini aku terbiasa merenung, tempat yang ketika kecil memang sudah menjadi tempat favoritku. Semilir angin yang sejuk, pepohonan yang rindang berjejer rapi ditempat ini. Kicau burung disetiap pohon membuat suasana kian terasa asri. Keasrian inilah yang membuatku betah berlama-lama ditempat ini. tempat ini juga yang selalu mengingatkanku pada sosok almarhumah Bunda. Ditempat ini aku dan Bunda biasa menghabiskan waktu senggang. Terlalu banyak kenangan dengan tempat ini. Kenangan yang membuatku selalu menitikkan air mata kerinduan pada Bunda. Kerinduan yang hanya mampu diobati dengan do'a-do'a seusai sholat yang kupanjatkan.

Tak terasa satu minggupun telah berlalu dan selama satu minggu itu pula aku menghabiskan waktuku ditempat favoritku itu. Seminggu yang lalu setelah Ayah menawariku untuk dijodohkan, aku memutuskan untuk menerima permintaan Ayah dan ikut Ayah pulang ke tanah kelahiranku. Aku memutuskan untuk menerima perjodohan ini karena tak ingin mengecewakan Ayah dan karena aku juga memang tidak punya calon untuk diperkenalkan kepada Ayah. Mimpi misterius yang selama ini menghantuiku aku anggap itu hanya sebagai bunga tidur saja. Meskipun hati kecil masih berharap mimpi itu menunjukkan ciri-ciri yang mudah untuk dikenali.

"Aku masih tak percaya, raga kita begitu dekat bahkan sangat dekat. Namun diantara kita tidak ada yang menyadarinya." Ucap sipemilik mata indah itu. Dia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Sekarang aku akan membuka hijab yang selama ini menutupi wajahku sehingga aku tampak selalu misterius. Perlahan tangannya membuka kain shorban yang menutupi sebagian wajahnya dan terlihatlah seluruh wajah pria misterius pemilik mata indah itu hingga membuatku tercekat.
"Davin!" Seruku dengan mata terbelalak.
Pria yang kukira davin itu hanya tersenyum lalu perlahan mundur menjauhiku kian jauh dan semakin jauh hingga ia tak terlihat lagi. Kakiku tertahan disini rasanya berat untuk melangkah apalagi mengejarnya. Tiba-tiba terdengarlah suara Mu'adzin bersuara indah itu mengumandangkan adzan.
"Bangun sayang! Ayo kita sholat berjama'ah di mesjid sudah adzan tuh!" Ajak Ayah sambil menggoyang-goyangkan tubuhku agar aku terbangun. Aku mengucek-ngucek kedua mataku, samar-samar kudengar suara mu'adzin bersuara indah itu. Aku pikir suara mu'adzin itu hanyalah bawaan dari mimpiku. tapi ternyata suara mu'adzin itu kian jelas berkumandang. Tak percaya dengan apa yang kudengar, aku mencubit-cubit pelan pipiku untuk memastikan bahwa ini nyata.
"Nah loh, kenapa malah nyubitin pipi sendiri? Ayo bangun!" Seru Ayah menyadarkanku.
"Zahra nggak mimpi kan Yah?" Tanyaku.
"Memangnya kenapa sayang?" Jawab Ayah balik bertanya.
"Barusan siapa yang adzan Yah?" Tanyaku lagi.
"Ayah kurang tahu sayang, karena Ayah juga baru dengar. Kenapa jadi malah dengerin adzan, ayo ah bangun! kita sholat berjama'ah. Nanti kita ketinggalan lagi." Ajak Ayah lagi.

Sesampainya dimesjid, mesjid sudah penuh dengan jama'ah yang hendak sholat shubuh berjama'ah karena aku datang agak terlambat. Karena masih penasaran dengan mu'adzin yang tadi kudengar, aku menyempatkan untuk bertanya pada jama'ah yang sudah lebih dulu ada disana. Namun lagi-lagi jawabannya tidak tahu. Lagi-lagi jawabannya sama seperti Ayah, mereka juga baru mendengar suara mu'adzin itu. Aku hanya menghela nafas kecewa. Seusai Sholat shubuh berjama'ah, aku tak lantas segera pulang. Aku memilih untuk menenangkan diriku dengan tadarusan terlebih dahulu bersama jama'ah yang lain di mesjid. Aku masih tak percaya dengan mimpi tadi malam. Perlahan kucoba mengingat-ngingat mata Davin yang kuyakini pria sipemilik  mata indah yang selama ini begitu misterius. Tapi benarkah itu dia? Kenapa harus dia? Kenapa dia muncul setelah aku menerima perjodohan ini? Lalu siapa sebenrnya mu'adzin bersuara indah itu? Mengapa dia ada ditempat ini? Apakah dia juga sebenarnya adalah orang terdekatku seperti pria mata indah itu?
"Nak Zahra, masih betah toh tinggal dimmesjid? Sudah jam 7 nak." Ucap seorang ibu-ibu membuyarkan lamunanku. Aku lantas beristighfar dan segera pulang ke rumah.

Namun, belum sempat aku sampai dirumah. Langkahku terhenti ketika baru menginjakkan kaki dihalaman rumahku. Ada banyak kendaraan terparkir dihalaman rumah. Pertanyaan demi pertanyaanpun menari-nari dipikiranku. Ada acara apa? Mungkinkah itu saudara atau rekan-rekan kerja Ayah yang bertamu untuk bersilaturahmi kepada Ayah? Atau justru itu adalah... Tidak, aku tak ingin terus menduga-duga. Akhirnya kuteruskan langkahku untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku.

Kuketuk pintu dan mengucap salam.
"Assalammu'alaikum.."
"Wa'alaikum salam..." Terdengar jawaban salam dari dalam rumah. Pintu terbuka secara perlahan dan kudapati banyak orang tengah berkumpul diruang tamu yang memang letak ruang tamu berada dibagian depan. Semua pandangan tertuju padaku. Ayah segera menggiringku duduk dekat para tamu yang sedang ada disana. Melihatku yang masih tampak bingung Ayah segera membuka percakapan.
"Nah, inilah puteri yang sejak tadi ditunggu-tunggu. Jadi begini sayang, para tamu yang datang kesini sekarang adalah mereka yang menemani pemuda yang hendak dijodohkan denganmu Nak." Tutur Ayah. Benar saja dugaanku. Kupandangi para tamu itu satu persatu, hingga pandanganku berhenti disatu titik yang kuyakini itu adalah pemuda yang hendak dijodohkan denganku. Dia masih muda jika kutaksir usianya baru menginjak 27 tahun, kulitnya sawo matang dengan hidung mancung, yang membuatku berhenti memandangnya pandangannya teduh sekali. Menyadari dirinya tengah aku pandangi, pemuda itu menundukkan kepalanya akupun kembali menundukkan kepalaku.
"Sekarang kalian sudah dipertemukan tinggal saling mengenal satu sama lain saja, kalian bisa saling mengetahui karakter pasangan kalian dengan mencari tahu lewat saudar-saudara kalian yang ada disini. Sayang, itulah pemuda yang akan menjadi calon suamimu jika Alloh berkehendak. Namanya Ardhan As-Shidiq. Nak Ardhan, ini puteri Bapak Zahra Aulia Ar-Rahmi" tutur Ayah lagi sembari menunjuk pemuda yang berada disudut ruang tamu itu, pemuda yang tadi memang sudah dapat kutebak itu adalah yang hendak dijodohkan denganku. Ada rasa yakin dihati yang aku sendiripu tak tahu darimana asalnya rasa itu? Padahal tadi pagi sempat ada rasa sesal menerima perjodohan ini karena mimpi itu.

Setelah acara lamaran itu karena kami sama-sama yakin, akhirnya  acara pernikahanku akan dilangsungkan 3 minggu kemudian. Ayah sibuk mengatur segala persiapan untuk pernikahanku dari mulai menghubungi keluarga dan kerabat dekat untuk memberitahu sekaligus mengundang mereka untuk datang ke acara pernikahanku. Undanganpun sudah disebar kesemua kenalan Ayah dan sahabat-sahabatku, tak terkecuali Davin. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Entah apa yang terjadi denganku. Bukankah dia sahabatku sejak kecil? Dan bukankah akupun sudah yakin dengan pilihanku? Semoga keputusanku ini memang sudah yang terbaik dan diridhoi Alloh. Bathinku.




*bersambung

*Gambar refferensi dari google

0 komentar:

Posting Komentar