Kasih sayang tak terhingga

Usiaku waktu itu memang tidak terlalu belia. Waktu itu usiaku baru menginjak kurang lebih 7 tahun. Usia yang memang belum cukup mampu untuk mengerti semua keadaan waktu itu. Tapi masih akan mampu mengingat semua yang terjadi saat itu ketika dewasa kelak. Semua orang menangis waktu itu. Tak terkecuali ayah. Ayah memelukku sambil menangis terisak-isak.
"Ayah kenapa?" Tanyaku polos.
"Bunda sudah pergi meninggalkan kita nak."Jawab ayah sambil memelukku erat. Dengan tangis yang semakin keras. Aku masih tak mengerti. Bunda pergi? Pergi kemana? Orang bunda tidur, kok dibilang pergi. Begitulah pikirku saat itu.
Hingga lambat laun haripun berganti. Aku mulai mengerti. Bunda pergi dan takkan kembali. Hari berganti, keadaanpun berubah. Aku yang dulu selalu jadi kebanggaan bunda, yang selalu dinomer satukan. Kini tak lagi sama. Semua orang tak lagi mempedulikanku, mereka sibuk dengan dirinya masing-masing.
Keadaan itu membuatku sedih, aku melakukan segala cara untuk menarik perhatian keluargaku kembali. Aku mulai berulah. Semua orang jengkel terhadapku. Mereka tak tahan dengan kelakuanku.
Awal mula kepergian bunda, aku tinggal bersama kakak keduaku. Aku tak ingin tinggal bersama ayah dan ibu baruku. Tapi, kakak keduaku tak sanggup mengurusku. Akhirnya aku tinggal bersama kakak pertamaku. Kakak pertamakupun tak sanggup mengurusku yang susah diatur dan keras kepala. Dan pilihan terakhirnya aku terpaksa harus tinggal bersama ayah dan ibu tiriku. Disinipun aku tak berhenti berulah. Tiada hari tanpa omelan ayah dan ibu tiriku.
Dan seperti sudah menjadi tradisi. Ketika kumpul keluarga, akulah yang menjadi trending topic pembicaraan keluarga. Mereka sudah tak tahhu lagi bagaimana cara mendidikku."Cukup dengan kasih sayang aetulus bunda." Bathinku. Aku sudah mengerti semuanya ayah. Aku sudah cukup dewasa untuk memahami ini.
Perlahan, sikapkupun mulai berubah. Aku tak lagi manja apalagi keras kepala. Aku menjadi lebih penurut. Dan perlahan pula, aku tak jadi trending topik pembicaraan keluarga.
Perubahanku bukan semata-mata karena aku cape jadi trending topik keluarga. Tapi karena aku tak ingin membuat ayah menangis karena ulahku.
Suatu kali aku mendatangi ayah dengan perasaan bangga dan bahagia.
"Ayah, aku dapat nilai ujian terbesar sekecamatan. Aku juga jadi juara umum disekolah." Kataku dengan penuh bangga.
"Alhamdulilah. Tingkatkan lagi ya." Ucap ayah singkat. Sambil berlalu dari hadapanku. Aku hanya menganga tak percaya. Hanya itu? Kenapa ayah tak lagi bangga padaku? Apa karena ayah masih kecewa dengan ulahku selama ini? Pertanyaan demi pertanyaan menari-nari dipikiranku. Hingga pernah aku berpikir. Lalu untuk apa aku hidup jika semua orang tak lagi peduli? Ternyata aku salah. Diam-diam ayah sangat bangga padaku. Ayah sangat peduli padaku. Hanya saja ayah tak menunjukkan secara langsung. Dan hal ini aku ketahui setelah ayah pergi untuk selamanya. Ayah meninggal demi untuk mendatangi wisudaku. Ayah rela jauh-jauh datang malam-malam untukku. Ayah meninggal karena kecelakaan mobil. Mobil yang ayah tumpangi masuk jurang.
Sebelum ayah pergi, ayah menitipkan surat untukku. Hanya saja suratnya telat datang. Karena ada gangguan.
Untuk
Anak ayah tersayang
Anakku, kini engkau telah dewasa. Kini engaku bukan lagi putri kecil yang duduk dipangkuan ayah. Engkau tumbuh menjadi wanita kuat yang tegar dan sabar.
Anakku, jangan kau pikir sikap keras ayah selama ini terhadapmu, tanda ayah tak sayang atau tak peduli terhadapmu. Bukankah rasa sayang itu tak selalu harus diungkapkan dengan kelembutan dan kata-kata? Karena seaungguhnya ayah sangat bangga padamu nak. Ayah ingin putri bungsu ayah ini, tumbuh menjadi wanita hebat yang mandiri. Tidak manja apalagi cengeng seperti dulu.
Ayah mengirimkan surat ini, karena ayah takut usia ayah tak cukup mampu menyampaikan rasa sayang ayah padamu nak. Tetaplah menjadi wanita kebanggaan ayah. Wanita sholehah kebanggaan ayah bunda.
Salam sayang
Ayahmu
Derai air mata tak mampu lagi ku bendung membasahi surat yang kubaca. Tak kuasa aku menahan tangis dan sesal. Namun tak ada guna aku terus meratap. Karena dengan terus kutangisi dan kuratapi kepergian ayah, justru hal itu.yang akan membuat ayah tersiksa disana. Ayah dan bunda tak membutuhkan tangisanku. Yang mereka inginkan adalah aku tumbuh menjadi wanita sholehah yang selalu mendo'akan mereka.
"Ayah, Bunda, Do'aku disepanjang malamku untuk kalian tanda sayang dan rinduku yang tak pernah usai."

0 komentar:

Posting Komentar